Equity to be Split
Setelah hasil produksi/lifting digunakan untuk membayar jatah FTP, Investment Credit dan Cost Recovery, maka nilai yang masih tersisa akan dibagi antara negara dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Porsi pembagian ini disesuaikan dengan kesepakatan yang telah tertuang dalam Production Sharing Contract (PSC).
Porsi standar pembagian produksi minyak adalah 85:15, dimana: negara akan mendapat jatah 85% nilai produksi/lifting, dan KKKS mendapat 15%. Adapun porsi standar pembagian produksi gas adalah 70:30, dimana negara akan menerima jatah 70% dan KKS 30%. Namun tidak menutup kemungkinan adanya porsi pembagian produksi migas yang lain, terkait dengan jenis kontrak yang berbeda, atau jenis lapangan, atau cara produksi dll.
Perlu dicatat bahwa porsi bagi hasil produksi sebesar 85:15 atau 70:30 tersebut adalah nilai bersih setelah memperhitungkan pajak (net after tax). Sehingga, berapapun tariff pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia, investor akan selalu terjamin untuk mendapatkan porsi 15% (dalam kondisi bagi produksi 85:15) atau 30% (dalam kondisi bagi produksi 70:30) dari pembagian hasil produksi.
Terdapat beberapa tarif pajak penghasilan yang telah berlaku dalam PSC sesuai tax regime pada saat itu, yaitu 56%, 48% dan 44%. Namun, dalam berbagai tariff pajak penghasilan tersebut, investor tetap mendapatkan jaminan porsi pembagian hasil produksi yang tetap sesuai kontrak PSC. Bagi investor, hal ini tentu merupakan keuntungan tersendiri. Setidaknya akan sedikit lebih mudah bagi mereka untuk melakukan analisis atas portfolio investasi yang mereka miliki di berbagai penjuru dunia.
Untuk mengetahui besaran porsi pembagian produksi secara gross up (sebelum pajak), maka dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:
Misal:
- Porsi pembagian produksi = 85:15.
- Pajak Penghasilan = 44%
- Bagian kontraktor sebelum pajak = X
Maka:
Produksi setelah pajak = 56% (1-44%)
Bagian Kontraktor = 56% x X = 15%
X = 15% x 100/56 = 26.78%
PPh = 44% x 26.78% = 11.78%
Bagian Kontraktor setelah pajak = 15% (26.78%-11.78%).
Jadi angka Gross Up dari pembagian produksi sebesar 15% bagi kontraktor dengan tariff pajak 44% adalah 26.78%
Sebaliknya bagi negara, porsi 85% yang diterima adalah nilai setelah ditambah penerimaan pajak. Dengan demikian penerimaan negara dari hasil pembagian produksi adalah lebih kecil daripada 85% tsb, yakni 73.22% (1 – 26.78%) atau (85% - 11.78%)
Berikut adalah contoh petikan pasal tentang equity to be split / porsi pembagian bagi produksi dalam kontrak PSC
(bersambung...)
Kamis, 27 Agustus 2009
Jumat, 14 Agustus 2009
BS 1 - Financial Status Report (Bag III)
Cost Recovery
Setelah dikurangkan dengan FTP dan Investment Credit, penggunaan hasil lifting selanjutnya adalah untuk menutup biaya perusahaan. Baru setelah itu, nilai lifting yang masih tersisa (jika memang ada sisa) akan dibagikan kepada negara dan KPS sesuai porsi masing-masing.
Proses menutup biaya dari hasil lifting ini dikenal dengan cost recovery. Sebenarnya, mekanisme cost recovery di industri migas ini persis dengan yang dilakukan oleh perusahaan lain pada umumnya, yaitu sekedar membebankan seluruh biaya terhadap hasil penjualan guna menghitung keuntungan usaha. Jika biaya lebih besar daripada penjualan, maka perusahaan menderita kerugian. Sebaliknya, jika biaya lebih kecil daripada penjualan, perusahaan mengalami keuntungan.
Berkah dari komoditi minyak adalah pada setiap tetesnya yang pasti akan laku terjual seluruhnya pada saat dilempar ke pasar. Oleh karena itu, jika sebuah rencana pengembangan lapangan minyak telah dinyatakan lulus studi kelayakan, maka hampir dapat dipastikan bahwa keuntungan akan selalu diraih. Hal ini sekaligus merupakan jaminan awal terhadap mekanisme cost recovery, yaitu berapapun biaya yang dikeluarkan akan selalu dapat dibebankan terhadap angka lifting minyak, mengingat kemudahan penjualannya.
Setelah dikurangkan dengan FTP dan Investment Credit, penggunaan hasil lifting selanjutnya adalah untuk menutup biaya perusahaan. Baru setelah itu, nilai lifting yang masih tersisa (jika memang ada sisa) akan dibagikan kepada negara dan KPS sesuai porsi masing-masing.
Proses menutup biaya dari hasil lifting ini dikenal dengan cost recovery. Sebenarnya, mekanisme cost recovery di industri migas ini persis dengan yang dilakukan oleh perusahaan lain pada umumnya, yaitu sekedar membebankan seluruh biaya terhadap hasil penjualan guna menghitung keuntungan usaha. Jika biaya lebih besar daripada penjualan, maka perusahaan menderita kerugian. Sebaliknya, jika biaya lebih kecil daripada penjualan, perusahaan mengalami keuntungan.
Berkah dari komoditi minyak adalah pada setiap tetesnya yang pasti akan laku terjual seluruhnya pada saat dilempar ke pasar. Oleh karena itu, jika sebuah rencana pengembangan lapangan minyak telah dinyatakan lulus studi kelayakan, maka hampir dapat dipastikan bahwa keuntungan akan selalu diraih. Hal ini sekaligus merupakan jaminan awal terhadap mekanisme cost recovery, yaitu berapapun biaya yang dikeluarkan akan selalu dapat dibebankan terhadap angka lifting minyak, mengingat kemudahan penjualannya.
Mekanisme cost recovery juga sebenarnya berlaku pada komoditi non-minyak. Hanya saja, tidak adanya jaminan bahwa setiap komoditi non-minyak akan selalu diserap oleh pasar mengakibatkan belum tentu seluruh cost yang telah terjadi dapat ter-recovery. Dengan demikian, mekanisme cost recovery di industri non-minyak tidak semulus seperti di industri minyak, karena harus menunggu seluruh produk terjual.
Di sisi lain, kemudahan dalam menjual produk minyak ini diimbangi oleh tingginya tingkat ketidakpastian atas hasil produksi minyak. Sebagaimana ungkapan “hati orang siapa yang tahu”, tidak ada satu pihak pun yang bisa memastikan keberadaan minyak didalam perut bumi. Tidak sedikit pemboran yang gagal menemukan minyak, walaupun dilakukan di lapangan yang telah memiliki cadangan minyak-terbukti. Apalagi untuk sumur-sumur taruhan (wildcat) yang dibor untuk pertama kalinya di atas lahan baru yang belum jelas status cadangannya.
Oleh karena itu, isu meningkatnya cost recovery akan segera menjadi sorotan bagi semua pihak, khususnya pada saat terjadi tingkat kegagalan yang tinggi dalam usaha menemukan minyak dan/atau cadangan minyak baru. Hal ini dikarenakan biaya yang dikeluarkan dalam usaha menemukan dan memproduksi minyak tersebut tidak dapat di cost recovery kan terhadap produk minyak, karena memang tidak ada minyak yang ditemukan. Walhasil, biaya-biaya tersebut akan dibebankan kepada hasil lifting minyak lain yang ada, yang ujung-ujungnya hanyalah akan mengurangi keuntungan secara keseluruhan, baik bagi negara maupun KPS. Namun demikian, secara bijak hal ini harus dipandang sebagai bagian dari resiko atas kegagalan yang memerlukan biaya. Sebagaimana yang dapat ditemui juga pada jenis usaha lain non-migas yang tentu juga mempunyai resiko kegagalan dalam bentuk lain yang beraneka macam.
Meningkatnya cost recovery dalam suatu periode akibat dari tingginya tingkat kegagalan operasi tentu bukan hal yang menyenangkan bagi semua pihak, terutama bagi negara. Namun keberadaan FTP dapat sedikit mengatasi masalah tersebut. Sebagaimana uraian sebelum ini, prioritas pertama penggunaan hasil lifting adalah untuk FTP terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menutup investment kredit (jika ada) dan cost recovery. Dengan demikian, keberadaan FTP sekaligus dapat berfungsi untuk membatasi besaran cost recovery dalam suatu periode. Pemberlakuan FTP 20% misalnya, berarti hanya menyisakan maksimum cost recovery 80% dari nilai lifting dalam suatu periode. Jadi, walaupun harus tetap menanggung seluruh tambahan biaya akibat meningkatnya cost recovery tersebut, tetapi tidak perlu dilakukan secara sekaligus dalam satu periode, melainkan sebagian dapat ditunda ke periode-periode berikutnya.
Di sisi lain, kemudahan dalam menjual produk minyak ini diimbangi oleh tingginya tingkat ketidakpastian atas hasil produksi minyak. Sebagaimana ungkapan “hati orang siapa yang tahu”, tidak ada satu pihak pun yang bisa memastikan keberadaan minyak didalam perut bumi. Tidak sedikit pemboran yang gagal menemukan minyak, walaupun dilakukan di lapangan yang telah memiliki cadangan minyak-terbukti. Apalagi untuk sumur-sumur taruhan (wildcat) yang dibor untuk pertama kalinya di atas lahan baru yang belum jelas status cadangannya.
Oleh karena itu, isu meningkatnya cost recovery akan segera menjadi sorotan bagi semua pihak, khususnya pada saat terjadi tingkat kegagalan yang tinggi dalam usaha menemukan minyak dan/atau cadangan minyak baru. Hal ini dikarenakan biaya yang dikeluarkan dalam usaha menemukan dan memproduksi minyak tersebut tidak dapat di cost recovery kan terhadap produk minyak, karena memang tidak ada minyak yang ditemukan. Walhasil, biaya-biaya tersebut akan dibebankan kepada hasil lifting minyak lain yang ada, yang ujung-ujungnya hanyalah akan mengurangi keuntungan secara keseluruhan, baik bagi negara maupun KPS. Namun demikian, secara bijak hal ini harus dipandang sebagai bagian dari resiko atas kegagalan yang memerlukan biaya. Sebagaimana yang dapat ditemui juga pada jenis usaha lain non-migas yang tentu juga mempunyai resiko kegagalan dalam bentuk lain yang beraneka macam.
Meningkatnya cost recovery dalam suatu periode akibat dari tingginya tingkat kegagalan operasi tentu bukan hal yang menyenangkan bagi semua pihak, terutama bagi negara. Namun keberadaan FTP dapat sedikit mengatasi masalah tersebut. Sebagaimana uraian sebelum ini, prioritas pertama penggunaan hasil lifting adalah untuk FTP terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menutup investment kredit (jika ada) dan cost recovery. Dengan demikian, keberadaan FTP sekaligus dapat berfungsi untuk membatasi besaran cost recovery dalam suatu periode. Pemberlakuan FTP 20% misalnya, berarti hanya menyisakan maksimum cost recovery 80% dari nilai lifting dalam suatu periode. Jadi, walaupun harus tetap menanggung seluruh tambahan biaya akibat meningkatnya cost recovery tersebut, tetapi tidak perlu dilakukan secara sekaligus dalam satu periode, melainkan sebagian dapat ditunda ke periode-periode berikutnya.
Masih terkait dengan cost recovery, negara saat ini telah mengeluarkan peraturan yang memuat daftar biaya yang tidak dapat dibebankan sebagai cost recovery (negative list). Jadi, tidak semua biaya yang dikeluarkan oleh KPS bakal di cost recovery. Ada pembatasan, yang berguna untuk mengurangi kebingungan atas beberapa jenis biaya yang selama ini dianggap masuk dalam wilayah abu-abu untuk dimasukkan dalam cost recovery. Selain itu, pembatasan ini sekaligus menuntut KPS agar lebih meningkatkan standar profesionalisme dibidang teknis dan keuangan, mengingat beberapa kelalaian KPS dapat menyebabkan un cost recovery.
Komponen Cost Recovery
Cost recovery yang ditampilkan BS-1 WP&B terdiri dari empat unsur:
- Unrecovered Other Costs
- Current Year Operating Costs
- Depreciation - Prior Year Assets
- Depreciation - Current Year Assets
Penyajian urutan diatas adalah disesuaikan dengan urutan prioritas cost recovery.
Unrecovered other cost adalah biaya operasional (opex) periode lalu (sejak dari awal) yang baru dapat dicost recovery dalam periode berjalan. Opex tersebut belum dapat di cost recovery pada periode lalu dikarenakan hasil lifting pada saat itu memang belum cukup untuk menutup opex yang telah dikeluarkan. Unrecovered other cost ini menempati urutan pertama dalam prioritas cost recovery.
Current Year Operating Cost adalah biaya operasional (opex) yang dikeluarkan selama tahun berjalan.
Depreciation - Prior Year Assets adalah biaya depresiasi dari aktiva tetap yang diperoleh pada periode-periode lalu. Biaya depresiasi ini belum dapat di cost recovery pada periode lalu dikarenakan hasil lifting pada saat itu memang belum cukup untuk menutupinya.
Depreciation - Current Year Assets adalah biaya depresiasi dari aktiva tetap yang diperoleh tahun berjalan.
Berikut adalah contoh kutipan pasal tentang cost recovery didalam kontrak PSC:
(Bersambung...)
Selasa, 04 Agustus 2009
BS 1 - Financial Status Report (Bag II)
Investment Credit
Walaupun menuntut keuntungan diterima dimuka melalui FTP, bukan berarti negara ingin mementingkan diri sendiri. Disisi lain, negara juga tentu berkepentingan untuk menjaga iklim investasi di Indonesia agar tetap menarik dimata investor. Untuk itu, negara dapat memberikan semacam insentif kepada KPS (Kontraktor Production Sharing) berupa pengembalian atas sejumlah investasi yang dilakukan oleh KPS, yang dikenal dengan istilah Investment Credit.
Walaupun menuntut keuntungan diterima dimuka melalui FTP, bukan berarti negara ingin mementingkan diri sendiri. Disisi lain, negara juga tentu berkepentingan untuk menjaga iklim investasi di Indonesia agar tetap menarik dimata investor. Untuk itu, negara dapat memberikan semacam insentif kepada KPS (Kontraktor Production Sharing) berupa pengembalian atas sejumlah investasi yang dilakukan oleh KPS, yang dikenal dengan istilah Investment Credit.
Investment Credit ini dinyatakan dalam persentase tertentu dari nilai investasi untuk mengembangkan suatu wilayah Kerja (WK). Sebagai contoh, Investment Credit 15% berarti 15% dari nilai investasi atas pembangunan fasilitas produksi akan dikembalikan oleh negara kepada KPS, sebagai tambahan keuntungan bagi KPS diluar porsi pembagian hasil produksi. Namun pemberian Investment Credit ini tentu bukan tanpa alasan. Penggunaannya akan disesuaikan dengan keadaan, seperti saat iklim investasi di negeri ini dianggap kurang menarik dimata investor dibandingkan dengan negara lain. Sebagaimana dunia perbankan berusaha menarik dana dari para (calon) nasabah dengan memberikan hadiah-hadiah yang menarik.
Seperti FTP, pembayaran atas Investment Credit juga diprioritaskan waktunya, yakni sebelum dilakukan perhitungan pembagian produksi antara negara dan KPS. Jadi urut-urutan prioritas pemanfaatan hasil lifting adalah untuk FTP dulu, baru kemudian digunakan untuk pembayaran Investment Credit. Setelah keduanya terpenuhi, sisanya baru dilakukan untuk menghitung pembagian hasil produksi.
Seperti FTP, pembayaran atas Investment Credit juga diprioritaskan waktunya, yakni sebelum dilakukan perhitungan pembagian produksi antara negara dan KPS. Jadi urut-urutan prioritas pemanfaatan hasil lifting adalah untuk FTP dulu, baru kemudian digunakan untuk pembayaran Investment Credit. Setelah keduanya terpenuhi, sisanya baru dilakukan untuk menghitung pembagian hasil produksi.
Sebagai pengurang biaya yang ditanggung oleh investor, Investment Credit akan menambah porsi penghasilan kena pajak.
Berikut adalah petikan contoh pasal tentang Investement Credit dalam kontrak PSC:
(bersambung...tulatit...tulatit..)
Langganan:
Postingan (Atom)