Jumat, 14 Agustus 2009

BS 1 - Financial Status Report (Bag III)

Cost Recovery
Setelah dikurangkan dengan FTP dan Investment Credit, penggunaan hasil lifting selanjutnya adalah untuk menutup biaya perusahaan. Baru setelah itu, nilai lifting yang masih tersisa (jika memang ada sisa) akan dibagikan kepada negara dan KPS sesuai porsi masing-masing.

Proses menutup biaya dari hasil lifting ini dikenal dengan cost recovery. Sebenarnya, mekanisme cost recovery di industri migas ini persis dengan yang dilakukan oleh perusahaan lain pada umumnya, yaitu sekedar membebankan seluruh biaya terhadap hasil penjualan guna menghitung keuntungan usaha. Jika biaya lebih besar daripada penjualan, maka perusahaan menderita kerugian. Sebaliknya, jika biaya lebih kecil daripada penjualan, perusahaan mengalami keuntungan.

Berkah dari komoditi minyak adalah pada setiap tetesnya yang pasti akan laku terjual seluruhnya pada saat dilempar ke pasar. Oleh karena itu, jika sebuah rencana pengembangan lapangan minyak telah dinyatakan lulus studi kelayakan, maka hampir dapat dipastikan bahwa keuntungan akan selalu diraih. Hal ini sekaligus merupakan jaminan awal terhadap mekanisme cost recovery, yaitu berapapun biaya yang dikeluarkan akan selalu dapat dibebankan terhadap angka lifting minyak, mengingat kemudahan penjualannya.


Mekanisme cost recovery juga sebenarnya berlaku pada komoditi non-minyak. Hanya saja, tidak adanya jaminan bahwa setiap komoditi non-minyak akan selalu diserap oleh pasar mengakibatkan belum tentu seluruh cost yang telah terjadi dapat ter-recovery. Dengan demikian, mekanisme cost recovery di industri non-minyak tidak semulus seperti di industri minyak, karena harus menunggu seluruh produk terjual.

Di sisi lain, kemudahan dalam menjual produk minyak ini diimbangi oleh tingginya tingkat ketidakpastian atas hasil produksi minyak. Sebagaimana ungkapan “hati orang siapa yang tahu”, tidak ada satu pihak pun yang bisa memastikan keberadaan minyak didalam perut bumi. Tidak sedikit pemboran yang gagal menemukan minyak, walaupun dilakukan di lapangan yang telah memiliki cadangan minyak-terbukti. Apalagi untuk sumur-sumur taruhan (wildcat) yang dibor untuk pertama kalinya di atas lahan baru yang belum jelas status cadangannya.

Oleh karena itu, isu meningkatnya cost recovery akan segera menjadi sorotan bagi semua pihak, khususnya pada saat terjadi tingkat kegagalan yang tinggi dalam usaha menemukan minyak dan/atau cadangan minyak baru. Hal ini dikarenakan biaya yang dikeluarkan dalam usaha menemukan dan memproduksi minyak tersebut tidak dapat di cost recovery kan terhadap produk minyak, karena memang tidak ada minyak yang ditemukan. Walhasil, biaya-biaya tersebut akan dibebankan kepada hasil lifting minyak lain yang ada, yang ujung-ujungnya hanyalah akan mengurangi keuntungan secara keseluruhan, baik bagi negara maupun KPS. Namun demikian, secara bijak hal ini harus dipandang sebagai bagian dari resiko atas kegagalan yang memerlukan biaya. Sebagaimana yang dapat ditemui juga pada jenis usaha lain non-migas yang tentu juga mempunyai resiko kegagalan dalam bentuk lain yang beraneka macam.

Meningkatnya cost recovery dalam suatu periode akibat dari tingginya tingkat kegagalan operasi tentu bukan hal yang menyenangkan bagi semua pihak, terutama bagi negara. Namun keberadaan FTP dapat sedikit mengatasi masalah tersebut. Sebagaimana uraian sebelum ini, prioritas pertama penggunaan hasil lifting adalah untuk FTP terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menutup investment kredit (jika ada) dan cost recovery. Dengan demikian, keberadaan FTP sekaligus dapat berfungsi untuk membatasi besaran cost recovery dalam suatu periode. Pemberlakuan FTP 20% misalnya, berarti hanya menyisakan maksimum cost recovery 80% dari nilai lifting dalam suatu periode. Jadi, walaupun harus tetap menanggung seluruh tambahan biaya akibat meningkatnya cost recovery tersebut, tetapi tidak perlu dilakukan secara sekaligus dalam satu periode, melainkan sebagian dapat ditunda ke periode-periode berikutnya.


Masih terkait dengan cost recovery, negara saat ini telah mengeluarkan peraturan yang memuat daftar biaya yang tidak dapat dibebankan sebagai cost recovery (negative list). Jadi, tidak semua biaya yang dikeluarkan oleh KPS bakal di cost recovery. Ada pembatasan, yang berguna untuk mengurangi kebingungan atas beberapa jenis biaya yang selama ini dianggap masuk dalam wilayah abu-abu untuk dimasukkan dalam cost recovery. Selain itu, pembatasan ini sekaligus menuntut KPS agar lebih meningkatkan standar profesionalisme dibidang teknis dan keuangan, mengingat beberapa kelalaian KPS dapat menyebabkan un cost recovery.


Komponen Cost Recovery
Cost recovery yang ditampilkan BS-1 WP&B terdiri dari empat unsur:
  1. Unrecovered Other Costs

  2. Current Year Operating Costs

  3. Depreciation - Prior Year Assets

  4. Depreciation - Current Year Assets
Penyajian urutan diatas adalah disesuaikan dengan urutan prioritas cost recovery.

Unrecovered other cost adalah biaya operasional (opex) periode lalu (sejak dari awal) yang baru dapat dicost recovery dalam periode berjalan. Opex tersebut belum dapat di cost recovery pada periode lalu dikarenakan hasil lifting pada saat itu memang belum cukup untuk menutup opex yang telah dikeluarkan. Unrecovered other cost ini menempati urutan pertama dalam prioritas cost recovery.


Current Year Operating Cost adalah biaya operasional (opex) yang dikeluarkan selama tahun berjalan.

Depreciation - Prior Year Assets adalah biaya depresiasi dari aktiva tetap yang diperoleh pada periode-periode lalu. Biaya depresiasi ini belum dapat di cost recovery pada periode lalu dikarenakan hasil lifting pada saat itu memang belum cukup untuk menutupinya.



Depreciation - Current Year Assets adalah biaya depresiasi dari aktiva tetap yang diperoleh tahun berjalan.
Berikut adalah contoh kutipan pasal tentang cost recovery didalam kontrak PSC:

(Bersambung...)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Good Job Pak Viet/SFED